Monday, April 13, 2009

pemilu 2009, great experience!

Orang mungkin melihat pemilu tahun ini, carut marut. Mulai dari orang -orang yang tidak bisa memilih karena namanya tidak tertera di Daftar Pemilih Tetap, sampai kebingungan mencontreng atau mencoblos karena orang tidak tahu bagaimana cara yang benar.

KPU dianggap sebagai penyebab dari semua ini, karena gagal bersosialisasi dan terlalu mengentengkan masalah. KPU pun terutama ketuanya yang bertumbuh tambun dan hobi cengar-cengir itu semakin menjengkelkan, karena selalu berkelit, sebab menurutnya akar dari permasalahan ini adalah pembentukan KPU yang terlambat oleh pemerintah.

Tapi buat saya, ada yang menyegarkan dari pemilu tahun ini. Terutama, Melihat betapa antusiasnya rakyat yang tidak kebagian memilih karena namanya tidak ada. Ada memang golput, segolongan orang yang menganggap dirinya intelektual, dan skeptis terhadap politik. Biasanya mereka memang menggolongkan diri "bukan orang kebanyakan" :))

Namun yang mendominasi headlines di media massa adalah kekecewaan orang yang tidak bisa memilih. Mereka berdemo ke tempat-tempat pemilihan, mebawa ktp dan kartu keluarga untuk membuktikan kependudukannya diakui pemerintah, sampai orang-orang yang sengaja mudik untuk ikut pemilu.

Saya merasa, kekecewaan masyarakat adalah bukti bahwa masih banyak orang yang punya harapan terhadap negeri ini. Masih banyak orang yang merasa mereka harus berbuat sesuatu, walaupun hanya menorehkan pilihan pada gambar-gambar partai, atau mungkin orang yang mereka harap bisa melakukan sesuatu.

Suatu bukti bahwa Indonesia masih belum kehilangan pecintanya.

Saturday, October 11, 2008

the old man is coming home


Saya gk tau apakah "coming home" itu kata yang tepat untuk Tengku Hassan Tiro. Dia habiskan hampir seluruh hidupnya di luar negeri. Bukan hanya karena idealismenya menyelamatkan Aceh, tapi karena memang dia adalah seorang anak Aceh cerdas, yang disekolahkan oleh pemerintah RI tahun 1950-an ke New York. Dan mendapatkan pembenaran lagi untuk escape dari Aceh saat dia "mengungsi" ke Swedia.

Sebelum mendeklarasikan Aceh Merdeka, tanggal 4 December 1976, Tiro menghabiskan hidupnya selama hampir 25 tahun di Amerika. Dia bersekolah di Columbia university mengambil International Law, dan juga bekerja sebagai staf informasi di Konjen RI di Nework. Loyalitasnya pada negara Indonesia yang baru dibentuk (dia sempat menjadi staff PM sjarifuddin sebelum dikirim ke Amerika) bubar pada tahun 1954, berubah menjadi sakit hati saat dia melihat rakyat sipil Aceh dibunuhi hanya karena Sukarno panik melihat gerakan bersenjata yang dipimpin oleh Daud Bereuh. Gerakan yang amat beralasan karena Sukarno tidak menepati janj untuk menerapkan syariat Islam di Aceh dan mengecilkan peran Aceh dalam kesatuan RI.

Tiro anak Aceh cerdas itupun, mengirim surat pada PM sjarifuddin, dan mengatakan bahwa Republik Indonesia telah mengadu domba antar saudara. Saat itu Tiro mengatakan Republik Islam Indonesia. Sejalan dengan kuliahnya di Amerika, pemikiran Tiro tentang apa itu Indonesia semakin matang. Dia melihat Sukarno terobsesi dengan negara kesatuan, dan "memaksakan" sulawesi, kalimantan, aceh, sumatra untuk bergabung ke jawa. Memaksakan karena kesatuan itu, menurutnya, tidak melalui referendum rakyat di pulau-pulau tersebut.

Perspektif ini saya setujui. Saya pernah bertanya, kalau kesatuan ternyata tidak bekerja dengan baik untuk kemakmuran rakyatnya, kenapa dipaksakan? apa mitos yang memaksakan kita untuk saling merekatkan diri, kalau yang terjadi adalah keuntungan untuk segelintir orang?

Setidaknya saat ini ada otonomi, yang mengarah pada federasi Indonesia. sistem ini cukup menjanjikan dan menjadikan kita tetap merekatkan diri dan menjadi bangsa yang besar, physically...:)). Kita masih gk tau apakah ini bekerja dengan baik. Masih terlalu early untuk menilainya kan?.

Kembali buat hasan Tiro. Setelah dia mendeklarasikan kemerdekaan Aceh, selama tiga tahun dia berjuang di hutan-hutan Aceh, untuk akhirnya dia pergi kembali mengungsi (begitu kata gagah beraninya) ke Stockholm, Swedia. Dan meneruskan perjuangan dari sana. Ratusan ribu, begitu katanya sendiri sudah mati. Salah satu faktornya karena mimpi yang dia terus perpanjang di negeri dingin Stockholm.

Saya tahu ini proses belajar demokrasi yang panjang buat kita, Indonesia. terlalu mahal, sebab ratusan ribu orang mati. GAM dan pemerintah RI menurut saya, hanya sekedar laboratorium politik dan sosial untuk Tiro. Dia tidak merasakan kepedihan apa-apa. Dia hanya hampir menjadi Che Guevarra, tapi dia tidak mati dengan darah perjuangan di dadanya.

Untunglah Tsunami menyelamatkan muka Tiro, dan juga pemerintah RI yang selalu terlihat silly dengan kebijakan militernya yang paranoid. Akhirnya perdamaian, itupun dengan uang tebusan ratusan juta buat para combattan yang lama hidup menderita.

Sedangkan Tiro, orang tua yang sebenarnya agak aneh itu, hidup di benak rakyat Aceh sebagai Pahlawan. Tanpa sedikitpun yang dia korbankan, sebenarnya. Dia sekolahkan anaknya di USA dan bangga terhadap itu. Kenapa dia tidak mengirim anaknya berperang di Aceh? kalau dia betul-betul mencintai Aceh, dia tidak akan bangga anaknya meraih Phd di negeri orang.

Tiro cuma mengorbankan satu hal, mimpinya.

Begitulah, Saya tidak melihat Tiro sebagai seorang pejuang.. dia adalah seorang pemikir, visioner genius yang well... agak pengecut. Kalau dia betul-betul pejuang dan mencintai Aceh, menurut saya dia tidak usah pergi ke Stockholm tahun 1979. Kalau dia betul-betul commit dengan idenya. Dia membiarkan dirinya menjadi mitos, memerintah Aceh dari luar negeri dan hidup enak, sementara rakyat Aceh yang betul-betul merindukan kebebasan, menjadi pion dan martir yang merelelakan darah mereka menjadi statistik propaganda politik.

Dia akan tinggal di Aceh dua minggu. I wonder, bagaimana pori-porinya yang terbiasa berkerut di udara dingin itu menghadapi Aceh dengan panas yang membakar.

Saya berdoa semoga Tiro merasakan kemiskinan rakyat Aceh. Kemiskinan rakyat yang dia katakan selama ini dibelanya.

Welcome home Tengku Tiro..!

Wednesday, September 24, 2008

Pornografi

Lagi-lagi Undang undang pornografi jadi kontroversi.
Kalau tidak salah lihat, dalam undang-undang itu ada pasal
pengecualian definisi pornografi yang mengedepankan ketelanjangan dan lain-lain itu
pada kepentingan ilmiah, dan budaya. Sebenarnya ini menyelesaikan banyak hal.
Tapi Bali dan Jogja.. maju bersama-sama. Semua traumatik terhadap fundamentalisme Islam
yang mereka sangka ada dibalik pembahasan UU pornografi itu.
Orang Joga takut tidak bisa memakai kemben di upacara pernikahan mereka, dan juga tari-tarian mereka, pun orang Bali. Mereka pun takut FPI merazia bule-bule berbikini di Kuta.
Hm..
ketelanjangan, pornografi, ekspresi tradisional dan budaya. Kata-kata ini sudah cukup memusingkan. Lebih erotik mana, goyang inul atau geliat jaipongan? kedua-duanya bisa membuat banyak laki-laki pusing kepala.
Mungkin yang harus di atur adalah dimana ini bisa dipertontonkan. TV punya aturan jelas ttg kesopanan. Tidak semua masyarakat di lingkungan pantai menerima orang telanjang di pinggir pantainya. Lalu?
Sebenarnya apa yang dirumuskan, saat orang membincangkan pornografi, batas moral?
pada hal apa pornografi menjadi kejahatan dan tidak?
Lebih baik membicarakan konsekuensi pidana dari industrialisasi pornografi, kejahatan sexual terhadap perempuan dan anak-anak, mungkin akan banyak orang sepakat. Tapi, bagaimana mendefinisikan kesopanan dalam standar masyarakat yang berbeda sejarah?
wah, magrib...
nanti diteruskan lagi. Kalau mood. :))

Tuesday, August 26, 2008

romantisme Michelle Obama

Pidato michelle obama pagi ini (malam di amerika) membuat mata saya basah. Orasinya memang gaya amerika, penuh dengan kata-kata yang.. yah, begitulah, khas orator, seperti film-film hollywood.

Tapi ada backround yang cukup emosional yang lebih dari sekedar kata-kata, yang membuat banyak orang demokrat juga meneteskan airmata termasuk orang indonesia yang hidup di nun jauh di ciledug seperti saya ini, apa itu ya?

Mungkin orang merasakan getaran cinta dan kepercayaan Michelle terhadap Obama?
atau lebih dari itu, kepercayaan dia yang total terhadap ideals yang Obama perjuangkan?
atau karena Michelle adalah perempuan, kulit hitam, yang dengan penuh harga diri berdiri dihadapan amerika dan menyuarakan kebenaran yang diyakininya?

Yang jelas komentar setelah Michelle berpidato cukup positif. Pidato Michelle malam ini memvalidasi hidup Obama yang idealis. Disaat orang mulai kembali meragukan Obama karena nama belakangnya, dan pilihan dia terhadap kandidat wakil presiden yang pernah mendukung perang irak, Michele menunjukkan totalisme untuk Obama.

Dalam satu speechnya Michelle menceritakan kesannya saat bertemu Obama 19 tahun yang lalu saat mereka masih sama-sama pengacara di kantor bantuan hukum kecil, dan Michelle menyaksikan obama berorasi depan orang-orang yang baru saja dipecat karena tempat bekerja mereka tutup ..:

"Barack stood up that day, and spoke words that have stayed with me ever since. He talked about "The world as it is" and "The world as it should be." And he said that all too often, we accept the distance between the two, and settle for the world as it is - even when it doesn't reflect our values and aspirations. But he reminded us that we know what our world should look like. We know what fairness and justice and opportunity look like. And he urged us to believe in ourselves - to find the strength within ourselves to strive for the world as it should be "

http://www.huffingtonpost.com/2008/08/25/michelle-obamas-democrati_n_121310.html (pidato michelle obama: transkrip dan videonya)

Pidato menyentuh Michelle membawa ingatan saya pada kata-kata Susan sarandon di "Shall We Dance "', ttg makna pernikahan:

"We need a witness to our lives. There's a billion people on the plane.. I mean, what does any one life really mean? But in a marriage, you're promising to care about everything. The good things, the bad things, the terrible things, the mundane things… all of it, all of the time, every day. You're saying 'Your life will not go unnoticed because I will notice it. Your life will not go un-witnessed because I will be your witness."

dan sepertinya Michelle pagi ini bercerita ttg kesaksiannya tentang hidup Obama selama 19 tahun dia mendampingi suaminya.

isn't it romantic?

Friday, August 15, 2008

hari kemerdekaan kita

da yang menarik dari pidato sby pagi ini..buat saya.. dia membandingkan hujan badai indonesia dengan bangsa-bangsa besar yang lain...

" Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia, telah menjalani salah satu era yang paling transformasional dalam sejarah Indonesia modern. Kita tahu, hanya segelintir bangsa-bangsa di dunia yang menghadapi badai dan gejolak bertubi-tubi sebagaimana yang kita alami. Dan hanya segelintir kecil bangsa - bangsa yang mampu bertahan, bahkan bangkit menjadi lebih tegar akibat dari cobaan - cobaan sejarah tersebut,"

Saya jadi ingat banyak bangsa yang saat ini tenggelam.

Macedonia, yang melahirkan Alexander the Great, satu bangsa yang besar, akhirnya mengerucut menjadi satu provinsi kecil jamannya yogoslavia dulu, dan sekarang menjadi negara kecil yang selalu diremehkan asal-usulnya di Eropa, terutama oleh protes Yunani, yang menganggap mereka mengclaim nama Macedonia.

Inca, Astek..yang hilang dan menjadi artefak..

Yunani sendiri yang melahirkan dasar-dasar filosofi dunia, sekarang hanya menjadi negara tujuan wisata saja dan sering diejek karena makan kepala kambing..

Roma.. saat ini tak lebih dari negeri penghasil mafia..

Portugis, yang gagah berani mengarungi lautan dengan gold, gospel dan glory, sekarang tak lebih menjadi negara pemroduksi film-film ala telenovela..

Inggris, temen saya orang Inggris, bilang.. sekarang negaranya cuma pojok kecil yang kumuh di Eropa, yang lebih ngetop dengan gosip kerajaan.. dan spice girls..

Perancis.. menjadi seperti grumpy old man di dunia... yang selalu berusaha menunjukkan keberbedaanya di hadapan amerika..tapi selalu rusuh dengan migran bekas jajahannya.. politik etis yang disesali banyak warganya ketika melihat banyak orang bekerja dengan wajah arab..

Jerman.. seperti orang dewasa yang sensitif di masyarakat dunia, dengan banyaknya dosa masa lalu...

Amerika Serikat masih besar dan super power, .. mencoba mencuci dosa gelap jaman George Bush dengan menghadirkan Obama..namun selalu diguncangkan dengan kasus penembakan-penembakan di sekolah.. tanpa sebab yang pasti., Sejak peristiwa columbine high school, dan beberapa kasus yang mirip seperti itu amerika goncang..ada apa dengan anak muda mereka? bagaimana dengan masa depan bangsa mereka? Michael Moore bilang.. mereka termakan politic of fear yang dilancarkan pemerintah dari regime ke regime, entah sampai kapan.

Tapi seperti siklus, pasti ada masanya suatu bangsa tenggelam. Seperti halnya manusia, sepertinya bangsa mempunyai masa matinya sendiri-sendiri..Seperti kata SBY dan penulis pidatonya..:)) hanya segelintir bangsa yang bertahan. SBY seperti ingin mengisyaratkan.. kebesaran bangsa ini, juga dari kebesaran cobaannya..

Semoga kita bisa bertahan, dan betul-betul menjadi bangsa yang besar..bangsa yang menemukan dharmanya dan mempersembahkan yang terbaik bagi-Nya, bagi peradaban. Aamiin.

sekali lagi pidato sby di akhir pidatonya:

"Pada tahun 1928, Bung Hatta yang diadili karena perjuangannya dalam menuntut kemerdekaan menyatakan, " Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku, " Negeri yang dikatakan proklamator itu adalah republik Indonesia, dan usaha yang dimaksudkan adalah Usaha bangsa Indonesia. Saudara-saudara kemajuan bangsa ini ada di tangan kita, sendiri, "

Selamat hari kemerdekaan.

ps: Saya nggak dengerin pidatonya, kantor memang dapat transkrip pidato setiap hari kemerdekaan. Dan menurut saya gaya pidato SBY amat membosankan.. anyway.. isinya lumayan inspiratif.. yang saya tahu, sby sangat meneliti isi pidato yang dia bacakan.. even yang bikin orang lain, dan kadang dia membuat oret-oretan sendiri, menambahkan dan mengurangi. Dia sangat serius dengan pidatonya, apalagi menjelang pemilu.. :))

Tuesday, August 12, 2008

A good girl certainly better than a bad boy

Elena Stefoi, seorang sejarawan sekaligus duta besar besar Rumania untuk Kanada, mengucapkan kalimat yang saya tuliskan sebagai judul diatas sebagai penutup dari pidatonya pada seminar ttg perempuan di Kanada.

Pada masa-masa perang ucapnya, perempuan berdiplomasi sementara laki-laki pergi berperang. Subjek diplomasi dan perempuan menjadi begitu menggelisahkannya, hingga kalau kita mengetik dua kata itu pada mesin pencari google keluarlah berlembar-lembar bahasan tentang betapa terlambatnya dunia memberikan tempat bagi perempuan di dunia yang dipenuhi oleh laki-laki sebagai "homo diplomaticus".

Secara resmi di berbagai negara, diakuinya perempuan sebagai seorang diplomat penuh, tak jauh dari perang dunia kedua. Bahkan di Russia, perempuan dipandang sama dengan diplomat laki-laki baru pada tahun 1960-an.

Sebenarnya, signifikansi perempuan dalam diplomasi dimulai jauh sebelum masehi. Steven Saylor dalam epik novelnya "Roma" mengungkapkan sejarah yang menarik. Tahun 491 SM tercatat saat Corolianus seorang panglima perang yang dibuang oleh rakyat Roma hendak membalas dendam pada tanah kelahirannya, perempuan-perempuan Roma memasang dirinya sebagai benteng terakhir.

Ibunda Corolianus, Veturia, dengan gagah berani mendatangi Panglima Perang yang dikenal keji itu,dan mengajaknya berunding. Entah apa yang dikatakan Veturia pada pertempuan empat mata dengan Corolianus dalam tenda yang tertutup, Corolianus akhirnya mengurungkan membalas dendam pada kota yang telah membuangnya itu, dan memilih untuk dibunuh oleh pasukan Volci, sekutunya sekaligus musuh bebuyutan Roma, yang menuduhnya berkhianat.

Kehebatan diplomasi perempuan juga amat dikenal saat Cleopatra menjalin hubungan cinta dengan Julius Caesar, yang membuat kejatuhan Alexandria dari penguasaan Alexander the Great ke tangan Roma dengan sangat bermartabat.

Setelah Caesar meninggal, Cleopatra menjalin kembali hubungan cinta dengan Marcus Antonius, orang kepercayaan Caesar, demi menjaga keutuhan Mesir. Walaupun akhirnya Cleopatra mati ditangan Octavius, musuh politik dari Antonius, namun Mesir senantiasa utuh sampai saat ini dan patung Cleopatra yang bersepuh emas tetap dipuja di kuil Venus.

Apakah kehebatan perempuan dalam diplomasi selalu berkaitan dengan hubungan darah dan cinta? Seperti yang dilakukan oleh Veturia dan Cleopatra?

Susah untuk mengatakannya. Peran dominan perempuan sebagai ibu dan kekasih, semakin jarang ditemukan. Diplomat perempuan, semakin hari, semakin mengadopsi role model dalam dunia diplomasi, gaya laki-laki sebagai "homo diplomaticus".

Apakah ini baik atau buruk? Saya tidak tahu. Apakah laki-laki senang berdiplomasi dengan perempuan yang berbicara seperti laki-laki atau perempuan sebagaimana adanya? Sejarah mencatat pujian yang paling jujur terhadap diplomat perempuan tercatat saat seorang laki-laki diplomat Inggris, membisikkan apreasiasinya pada counterpartnya dari Washington, ttg Ruth Bryan OWen, perempuan Amerika yang menjadi US chief of mission pertama di Copenhagen tahun 1933- 1936 " seorang diplomat perempuan yang bisa diajak bicara seperti seorang laki-laki,"pujinya.

Encoding ini menjadi jamak dalam dunia diplomasi. Perempuan diharapkan menjadi laki-laki. Sulit bagi seorang diplomat perempuan untuk menikmati kehidupan berkeluarga,menjadi ibu dan istri yang bahagia dan menjadi profesional dalam karirnya sekaligus. Kadang mereka dihadapkan pada pilihan yang sama ekstrimnya, dan akhirnya mengorbankan salah satunya.

Akibatnya kita kehilangan "perempuan" dalam diplomasi, kita bertemu dengan laki-laki dalam bentuk fisik perempuan.

Seharusnya ada satu sistem yang dapat mengadopsi keutuhan perempuan tersebut dalam pengaturan karir di dalam satu departemen, sebab dalam keutuhannya perempuan adalah juga ibu karena fungsi rahimnya dan Istri dalam peran purbanya sebagai pasangan dari lawan jenisnya. Keutuhan potensi diplomasi perempuan, terletak pula dalam sejauh mana sistem menerima dimensi -dimensi yang tak terlepas dari seorang perempuan.

Diperlukan juga laki-laki yang pemberani dan berbeda untuk menjadi pasangan dari seorang diplomat perempuan. Sebab dalam dunia tradisional laki-laki adalah penjelajah dan perempuan adalah pemelihara.

Bagaimanapun, kadang fungsi ini menjadi tertukar. NAmun, alam akan terus mendampingi agar tiap fungsi menjalankan peran asal-nya dengan baik. Diplomat yang ibu adalah juga penjelajah dan pemelihara, sebagaimana juga diplomat yang istri. Dan pada naturenya, seorang laki-laki adalah seorang penjelajah dimanapun Ia berada. Jadi tidak pernah ada rasa takut untuk kehilangan peran di layar kehidupan.

Dengan sistem seperti ini, di masa depan roda kehidupan mungkin akan mempertemukan kita dengan seorang Veturia dan Cleopatra. Jika saat itu datang sebaiknya kita bersiap sebab perempuan-perempuan seperti ini muncul dalam masa-masa genting yang penuh dengan konflik dan peperangan. Pada saat itu kita akan betul-betul memahami apa yang Elena ungkapkan diatas.

Tuesday, May 6, 2008

harga diri atau uang ?

Ada hal yang lucu dalam negosiasi pengiriman tenaga kerja Jepang dan Indonesia akhir-akhir ini. Kesepakatan Economic Partnership Agreement (EPA) antara Jepang dan Indonesia yang ditandatangani kedua pemimpin negara dua tahun yang lalu ternyata tidak seindah diatas kertas.

Mimpi yang paling indah adalah untuk pertama kali Pasar Jepang yang tertutup menerima tenaga kerja profesional (white collar worker) dari Indonesia. Profesi yang amat bermartabat perawat dan pendamping orang-orang jompo. Untuk perawat, Jepang mensyaratkan harus S-1, berpengalaman kerja tiga tahun... dan sederet persyaratan lainnya.

Dalam negosiasi selanjutnya disaat kita mempersiapkan putra-putri terbaik Indonesia, ternyata Jepang membuka satu hal yang amat menyakitkan hati, para perawat kita yang akan menjadi duta Indonesia itu, ternyata hanya diperkerjakan sebagai pembantu perawat. Alias menanggalkan kualifikasi S-1 nya dan hanya menjadi pekerja selevel SMA. Pendeknya blue collar worker.

Tentu saja ini membuat para negosiator Indonesia memerah. Harga diri Indonesia direndahkan. Perbedaan standar memang dimungkinkan karena gap ekonomi dan kualitas pendidika antara negara berkembang dan negara maju..

"Tapi kita tidak mau perawat-perawat kita dijadikan cleaning service," kata seorang negosiator perempuan emosional.

Diluar hiruk pikuk emosi itu, ada juga pertanyaan yang lebih khas orang jakarta datang dari para kandidat perawat itu: Gajinya berapa?

Gaji menjadi perhitungan yang amat penting... sebab ada yang berfikir, diantara putra- putri terbaik kita..

"Walaupun kerja cleaning service, tapi kalau gajinya 15 juta-an kalau dirupiahkan, saya mau aja.., ditambah tinggal gratis di Jepang lagi.."

Jadi apa yang mau dipilih: harga diri atau uang?

Nasib, negara miskin :))