Saturday, October 11, 2008

the old man is coming home


Saya gk tau apakah "coming home" itu kata yang tepat untuk Tengku Hassan Tiro. Dia habiskan hampir seluruh hidupnya di luar negeri. Bukan hanya karena idealismenya menyelamatkan Aceh, tapi karena memang dia adalah seorang anak Aceh cerdas, yang disekolahkan oleh pemerintah RI tahun 1950-an ke New York. Dan mendapatkan pembenaran lagi untuk escape dari Aceh saat dia "mengungsi" ke Swedia.

Sebelum mendeklarasikan Aceh Merdeka, tanggal 4 December 1976, Tiro menghabiskan hidupnya selama hampir 25 tahun di Amerika. Dia bersekolah di Columbia university mengambil International Law, dan juga bekerja sebagai staf informasi di Konjen RI di Nework. Loyalitasnya pada negara Indonesia yang baru dibentuk (dia sempat menjadi staff PM sjarifuddin sebelum dikirim ke Amerika) bubar pada tahun 1954, berubah menjadi sakit hati saat dia melihat rakyat sipil Aceh dibunuhi hanya karena Sukarno panik melihat gerakan bersenjata yang dipimpin oleh Daud Bereuh. Gerakan yang amat beralasan karena Sukarno tidak menepati janj untuk menerapkan syariat Islam di Aceh dan mengecilkan peran Aceh dalam kesatuan RI.

Tiro anak Aceh cerdas itupun, mengirim surat pada PM sjarifuddin, dan mengatakan bahwa Republik Indonesia telah mengadu domba antar saudara. Saat itu Tiro mengatakan Republik Islam Indonesia. Sejalan dengan kuliahnya di Amerika, pemikiran Tiro tentang apa itu Indonesia semakin matang. Dia melihat Sukarno terobsesi dengan negara kesatuan, dan "memaksakan" sulawesi, kalimantan, aceh, sumatra untuk bergabung ke jawa. Memaksakan karena kesatuan itu, menurutnya, tidak melalui referendum rakyat di pulau-pulau tersebut.

Perspektif ini saya setujui. Saya pernah bertanya, kalau kesatuan ternyata tidak bekerja dengan baik untuk kemakmuran rakyatnya, kenapa dipaksakan? apa mitos yang memaksakan kita untuk saling merekatkan diri, kalau yang terjadi adalah keuntungan untuk segelintir orang?

Setidaknya saat ini ada otonomi, yang mengarah pada federasi Indonesia. sistem ini cukup menjanjikan dan menjadikan kita tetap merekatkan diri dan menjadi bangsa yang besar, physically...:)). Kita masih gk tau apakah ini bekerja dengan baik. Masih terlalu early untuk menilainya kan?.

Kembali buat hasan Tiro. Setelah dia mendeklarasikan kemerdekaan Aceh, selama tiga tahun dia berjuang di hutan-hutan Aceh, untuk akhirnya dia pergi kembali mengungsi (begitu kata gagah beraninya) ke Stockholm, Swedia. Dan meneruskan perjuangan dari sana. Ratusan ribu, begitu katanya sendiri sudah mati. Salah satu faktornya karena mimpi yang dia terus perpanjang di negeri dingin Stockholm.

Saya tahu ini proses belajar demokrasi yang panjang buat kita, Indonesia. terlalu mahal, sebab ratusan ribu orang mati. GAM dan pemerintah RI menurut saya, hanya sekedar laboratorium politik dan sosial untuk Tiro. Dia tidak merasakan kepedihan apa-apa. Dia hanya hampir menjadi Che Guevarra, tapi dia tidak mati dengan darah perjuangan di dadanya.

Untunglah Tsunami menyelamatkan muka Tiro, dan juga pemerintah RI yang selalu terlihat silly dengan kebijakan militernya yang paranoid. Akhirnya perdamaian, itupun dengan uang tebusan ratusan juta buat para combattan yang lama hidup menderita.

Sedangkan Tiro, orang tua yang sebenarnya agak aneh itu, hidup di benak rakyat Aceh sebagai Pahlawan. Tanpa sedikitpun yang dia korbankan, sebenarnya. Dia sekolahkan anaknya di USA dan bangga terhadap itu. Kenapa dia tidak mengirim anaknya berperang di Aceh? kalau dia betul-betul mencintai Aceh, dia tidak akan bangga anaknya meraih Phd di negeri orang.

Tiro cuma mengorbankan satu hal, mimpinya.

Begitulah, Saya tidak melihat Tiro sebagai seorang pejuang.. dia adalah seorang pemikir, visioner genius yang well... agak pengecut. Kalau dia betul-betul pejuang dan mencintai Aceh, menurut saya dia tidak usah pergi ke Stockholm tahun 1979. Kalau dia betul-betul commit dengan idenya. Dia membiarkan dirinya menjadi mitos, memerintah Aceh dari luar negeri dan hidup enak, sementara rakyat Aceh yang betul-betul merindukan kebebasan, menjadi pion dan martir yang merelelakan darah mereka menjadi statistik propaganda politik.

Dia akan tinggal di Aceh dua minggu. I wonder, bagaimana pori-porinya yang terbiasa berkerut di udara dingin itu menghadapi Aceh dengan panas yang membakar.

Saya berdoa semoga Tiro merasakan kemiskinan rakyat Aceh. Kemiskinan rakyat yang dia katakan selama ini dibelanya.

Welcome home Tengku Tiro..!

0 comments: