Tuesday, May 6, 2008

harga diri atau uang ?

Ada hal yang lucu dalam negosiasi pengiriman tenaga kerja Jepang dan Indonesia akhir-akhir ini. Kesepakatan Economic Partnership Agreement (EPA) antara Jepang dan Indonesia yang ditandatangani kedua pemimpin negara dua tahun yang lalu ternyata tidak seindah diatas kertas.

Mimpi yang paling indah adalah untuk pertama kali Pasar Jepang yang tertutup menerima tenaga kerja profesional (white collar worker) dari Indonesia. Profesi yang amat bermartabat perawat dan pendamping orang-orang jompo. Untuk perawat, Jepang mensyaratkan harus S-1, berpengalaman kerja tiga tahun... dan sederet persyaratan lainnya.

Dalam negosiasi selanjutnya disaat kita mempersiapkan putra-putri terbaik Indonesia, ternyata Jepang membuka satu hal yang amat menyakitkan hati, para perawat kita yang akan menjadi duta Indonesia itu, ternyata hanya diperkerjakan sebagai pembantu perawat. Alias menanggalkan kualifikasi S-1 nya dan hanya menjadi pekerja selevel SMA. Pendeknya blue collar worker.

Tentu saja ini membuat para negosiator Indonesia memerah. Harga diri Indonesia direndahkan. Perbedaan standar memang dimungkinkan karena gap ekonomi dan kualitas pendidika antara negara berkembang dan negara maju..

"Tapi kita tidak mau perawat-perawat kita dijadikan cleaning service," kata seorang negosiator perempuan emosional.

Diluar hiruk pikuk emosi itu, ada juga pertanyaan yang lebih khas orang jakarta datang dari para kandidat perawat itu: Gajinya berapa?

Gaji menjadi perhitungan yang amat penting... sebab ada yang berfikir, diantara putra- putri terbaik kita..

"Walaupun kerja cleaning service, tapi kalau gajinya 15 juta-an kalau dirupiahkan, saya mau aja.., ditambah tinggal gratis di Jepang lagi.."

Jadi apa yang mau dipilih: harga diri atau uang?

Nasib, negara miskin :))