Thursday, March 13, 2008

Istimewakah Menjadi Seseorang Lulusan Jurnalistik?

(ditulis buat pengantar diskusi dgn mahasiswa baru di FIKOM Unpad, 11 maret 2007)

Waktu saya masih mahasiswa angkatan pertama kata-kata seorang dosen membuat hidung saya kembang kempis, katanya: “Kalian, mahasiswa komunikasi akan memegang masa depan. Orang-orang komunikasi akan menjadi yang terdepan dalam era informasi!”

Hampir lima belas tahun setelah itu, saya bisa merasakan ucapan sloganistik itu ada benarnya. Sejalan dengan transisi Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, komunikasi massa pun memasuki era revolusi. Berbagai bentuk bisnis yang didasarkan pada ilmu ini menjadi cukup terbuka. Mulai dari Public Relation kampanye pilkada sampai pemilu presiden, agen periklanan, juru bicara di lingkungan corporate sampai departemen pemerintahan, dan yang masih juga banyak diminati: menjadi wartawan.

Hukum alam berlaku, jutaan peminat pun berebut untuk mendapatkan satu kursi di lapangan kerja ini. Lulusan jurnalistik pun menjadi satu hal yang klasik. Lulusan ini cukup catchy dimata para pencari kerja, asumsinya lulusan jurnalistik cukup punya background ilmu praktis dalam mengerjakan tugas2 yang ada kaitannya dengan komunikasi massa. Pertanyaannya: Sejauh manakah kualitasnya dapat bersaing dengan lulusan ilmu-ilmu lainnya? saat ini yang namanya training jurnalistik sudah ada di tiap pojok jalan. Tidak begitu sulit untuk punya background ilmu jurnalistik, tinggal ikut kursus tiga bulan seorang lulusan ITB atau IPB dapat chit-chat tentang bagaimana seorang praktisi komunikasi massa itu.

Tapi kita boleh protes, sebab kuliah empat - lima tahun mempelajari ilmu jurnalistik, tidak seharusnya hanya memproduksi seorang praktisi komunikasi massa. Menurut saya kuliah formal ilmu jurnalistik harus membuat kita mempunyai cakrawala berfikir yang lebih mendalam, menjadi seorang pemikir “kecil-kecilan” minimal untuk pekerjaan – pekerjaan yang akan dipilih nanti,. Untuk kasus saya, menjadi wartawan.

Pertanyaan buat saya sendiri apakah ilmu jurnalistik yang saya pelajari menjadikan saya wartawan yang “berbeda” dengan teman wartawan lainnya?

Saya merasakan, walaupun saya tidak amat serius kuliah, ilmu yang saya pelajari di perkuliahan mengantarkan saya untuk menjiwai pekerjaan wartawan. Tugas-tugas pak Sahala terutama (walaupun saya dapat C untuk feature) mengenalkan saya pada profesionalisme, tentang detail dan yang paling penting, usaha mati-matian untuk menepati deadline. Saya menangkap semangat yang membuat saya ketagihan pada pekerjaan ini.

Selain itu, saya amat berterimakasih pada guru filsafat dan logika saya almarhum Bapak DR. Puspoprodjo yang mengenalkan tentang esensi berfikir dan berusaha menjadi seseorang yang tangguh dalam menganalisis permasalahan.

Setidaknya saya merasakan asuhan dua dosen tersebut membentuk kepribadian saya dalam pekerjaan. Hal ini memang amat subjektif, namun setidaknya saya memimpikan tradisi bekerja keras yang dipadukan dengan kebebasan plus (disiplin) berifikir masih diterapkan disini.

Kuliah di jurnalistik mengantarkan saya menjadi seorang generalis murni. Artinya saya harus siap berfikir untuk menemukan logika mendasar di tiap subjek. Dari mulai politik luar negeri, ekonomi, sosial, peta politik dalam negeri dan lain-lain. Adalah keasyikan yang utama buat saya dalam pekerjaan ini adalah menemukan logika mendasar pada tiap subjek, menemukan pertentangan-pertentangan pada issue –issue yang aktual dan mempertanyakan pertentangan itu pada nara sumber saya.

Pendeknya kuliah disini mengeksplorasi rasa curiosity (ingin tahu) yang cukup besar. Dan agaknya itu yang menjadi bekal utama dalam pekerjaan saya selama ini dan juga dalam kehidupan.

Nasib mengantarkan saya menjadi wartawan di sebuah kantor berita asing. Karena memang bekerja di sebuah kantor biro yang merepresentasikan Indonesia, saya harus punya rasa ingin tahu yang besar terhadap Indonesia. Bagaimana filosofi hidup masyarakatnya, sistem sosial politiknya, penyebab rasa malas untuk maju yang nggak hilang-hilang, akar korupsinya, sebab saya harus merepsentasikan berita terhadap publik yang tidak tahu tentang Indonesia.

Ataupun jika saya diperbantukan ke suatu negara asing, saya harus melengkapi diri saya dengan rasa ingin tahu yang sama, misalnya saja Vietnam: mengapa angka pertumbuhan Vietnam lebih maju dari Indonesia?, Apakah demokrasi memperlambat pertumbuhan, sebab ternyata Vietnam yang negara komunis itu lebih baik kualitas penduduknya dengan kita?, dan seterusnya-dan seterusnya.

Bertanya adalah pekerjaan besar seorang wartawan. Dibalik pertanyaan seseorang dapat menangkap logika, wawasan berfikir sekaligus pengetahuannnya akan suatu masalah. Saya kira tempat kuliah kita harus memberikan kesempatan yang lebih luas bagi para mahasiswanya untuk menstimulasi fikiran dan logikanya untuk punya rasa ingin tahu yang tinggi, membebaskan cakrawala berfikirnya dan akhirnya mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan cerdas. Saya kira itulah bekal utama yang saya dapatkan disini. Kalaupun ruang-ruang kelas terlalu sempit, stimuli berfikir bisa didapatkan dimanapun adik-adik beraktivitas, yang penting jangan malu untuk menjadi bodoh, dan terus bertanya. Semoga kita semua dapat terus menguak realitas dengan semangat ingin tahu kita.