Thursday, December 27, 2007

pembunuhan bhuto dan evolusi SBY

menarik sekali membaca komentar SBY hari ini ttg pembunuhan Bhuto. Selain mengutuk, dia juga mengatakan bahwa pembunuhan ini merupakan pembelajaran berharga untuk Indonesia. Begini lengkapnya, (saya dapatkan di email saya pagi ini dari stringer andalan di Istana) :

"Kejadian tragis yang menimpa mantan PM Pakistan Benazir Bhutto adalah
pelajaran berharga bagi Indonesia. Pengalaman di pakistan ini agar tidak terjadi di negeri kita. Kita tahu kompetisi berlangsung dalam pilkada. Tahun 2009 bahkan mulai tahun
depan sudah mulai ada kegiatan, di tingkat nasional sudah ada kompetisi itu.
Saya ajak bangsa ini pastikan kegiatan demokrasi aman dan tertib. Beri perlindungan ke tokoh2 politik yg ikut berkompetisi. Kejadian di pakistan pelajaran berharga"

Komentar ini menguatkan impresi baru ttg SBY yang mulai saya dapatkan sejak KTT ASEAN di singapore. Saya melihat SBY lebih matang. Selama dua tahun kepemimpinannya, dalam pandangan saya SBY adalah "new comer dalam politik di Indonesia" dan lebih mementingkan pembentukan image diatas segala2nya.. bahkan diatas substansi. Alias full of omong kosong.

Tapi perlahan kualitas kepemimpinannya mulai terlihat. Setidaknya dia bisa dan tau kapan waktu yang tepat untuk berbicara, dan yang paling tepat isi dari yang dia bicarakan, akhirnya cukup layak kutip.

saat KTT ASEAN di singapore, ketika, para pemimpin ASEAN (lagi-lagi) terpeleset masalah Myanmar, SBY mengambil alih kepemimpinan di saat makan malam para pemimpin ASEAN itu, saat mereka saling "engkel-engkelan" gimana harus memperlakukan Myanmar. Menurut saksi mata yang dikutip secara anonim oleh suatu kantor berita asing, SBY berdiri dan menegur para pemimpin itu, dengan; " Apakah kita harus terus terpecah belah karena Myanmar?" walaupun komentarnya TNI skalee.. tapi tegurannya itu mampu membuat para pemimpin itu bersirembuk untuk menentukan posisi bersama ttg myanmar, dan menghasilkan kata2 yang cukup keras setelah makan malam.

Setelah itu, SBY membuktikan lagi kualitas kepemimpinannya, saat UNFCCC meeting di Bali desember kemarin. Bersama-sama dengan Sekjen PBB, SBY mengajukan appeal pada para peserta yang udah pada exhausted.. termasuk para wartawan peliput yang udah pada gk mandi, untuk menghasilkan suatu breaktrough. Dia bilang "Dont let the world crumble, just because problem of wording," (wording maksudnya para peserta UNFCCC itu ribut masalah kata2 yang akan tertera di bali road map, kadang itulah sisi ridicoulusnya diplomasi.. letak titik, coma, bahkan peun aja jadi masalah hidup mati dan membuat pemborosan ribuan dolar, karena rapat nggak selesai2 dan menghabiskan bercangkir2 kopi untuk lobby.. )

Pidato itu, walaupun, saya tau bukan SBY yang membuatnya, tapi terbukti mampu mencairkan hati para negotiatior lingkungan yang keras kepala itu. Walaupun saya sempat berkomentar pada seorang diplomat dengan cynic bahwa SBY mendapatkan tempatnya untuk menjadi "hero", tapi diam2 saya bangga.. sekali.

dan proses - proses itu membawa SBY untuk mengeluarkan komentar yang cukup menarik hari ini.

Mungkin, saya bisa merasa betul2 punya pemimpin bangsa.., memang membutuhkan banyak test lagi di di depan.

But, hey, maybe, he's not bad.
not bad at all.

Wednesday, November 7, 2007

macet jalan = macet mental

Jakarta macet. Oh, itu bukan berita. Pembangunan jalur busway yang tanpa perencanaan matang patut disalahkan sebagai penyebab parahnya kemacetan jakarta akhir-akhir ini.

Tapi ada yang berbeda pagi ini ketika saya melintas di jalan Panjang kawasan kebun jeruk yang juga jadi sasaran pembangunan jalur busway. Jalan yang biasanya tak bergerak dipenuhi mobil,metro mini dan motor yang simpang siur tak karuan, pagi ini tampak sepi. Semua jenis pengendara bisa berseliweran dengan bebas. Ada pejabat lewat? atau saya lupa kalau ini hari libur?

Ternyata tidak. ini hari kerja biasa dan tidak ada volvo dengan sirine meraung-raung. Saya pun penasaran. Tiba-tiba disuatu perempatan, saya melihat orang berpakaian biru muda dan berhelm mengatur para pengendara sepeda motor untuk ada di satu jalur, dan mempersilahkan mobil memakai jalur lain.

Tak lama, 100 meter berikutnya saya melihat kembali orang berpakaian seragam yang sama mengatur jalan, begitupun 100 meter berikutnya dan berikutnya. Pengemudi motor, angkot, mobil tampak serius mengikuti gerak tangan petugas khusus yang belakangan saya ketahui spesial ditugaskan Departemen perhubungan pagi ini menjawab komplain publik tentang parahnya macet di Jalan Panjang.

Ah ternyata, bukan pembangunan jalur busway atau monorail atau galian penyebab utama macet. Tapi yang paling utama adalah masalah mental. Jalan panjang sehari-hari sebelum kedatangan para peri biru adalah pemandangan klasik semua ruas jalan di jakarta ada atau tidaknya pembangunan jalur Busway.

Dimana, disetiap ruas jalan ibu kota Indonesia ini, anda akan menemui angkot atau metromini yang suka berhenti seenaknya. Anda juga melihat, mobil-mobil pribadi yang melaju pelan karena sang pengemudi asik mengirim sms atau handphone. Jagoan jalanan jakarta, para pengendara motor pun memiliki andil besar dalam kekacauan jalan, dengan gayanya improvisasinya meliuk - liuk diantara mobil -mobil. Penuh semangatnya sampai tak perduli kalau stang atau bempernya menggores-gores kendaraan disekitarnya.

Tapi ajaibnya, kedatangan peri biru di jalan panjang pagi ini mengubah itu semua. Semua pengemudi cukup rapi dalam mengendarai mobil dengan kecepatan terjaga, pengendara motorpun jadi anak baik-baik, menahan diri untuk memainkan liukkan motornya. Begitupun barisan metromini, seakan-akan amnesia dengan prilakunya di hari-hari lalu, cukup taat mencari tempat untuk menaik-turunkan penumpang.

Ternyata kita bisa disiplin, cuma satu syaratnya: takut.

Dampak tiga ratus tahun penjajahan ternyata masih bersisa sampai hari ini.

Tuesday, November 6, 2007

investigative reporting

Memang mengagetkan saat orang yang kita kenal baik ternyata terlibat korupsi. Atau tertuduh. Ada rasa kaget, sedih, juga gembira sedikit, sebab ada satu lagi kemunafikan dan ketidakadilan terkuak. Dan yang paling penting, satu hak kita untuk tahu, kemana uang pajak yang selama ini kita bayar itu dipenuhi. Kasus yang menimpa orang yang kita kenal ini yang paling substansi bisa menjadi cermin, bahwa begitu kompleksnya manusia dan bukan nggak mungkin kita bisa melakukan hal yang sama.

Tapi yang paling penting apa yang harus saya lakukan menyikapi ini?
Ada berbagai pilihan, saya ikut bergerumbul orang banyak dan ikut-ikutan merutuki orang yang korupsi tanpa bercermin pada diri saya sendiri.
Atau sebagai konsekuensi dari pekerjaan, saya akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan menentukan sikap.

Atau kalau saya cukup digdaya, saya akan melakukan investigative reporting. Salah satu fungsi dari media yang menurut saya cukup tajam. Targetnya adalah menemukan bukti fisik yang cukup menunjang ucapan "sumber-sumber" yang membocorkan bahwa A, B, C terlibat korupsi.
Uang bagaimanapun akan terlihat jejaknya. Kemana mengalirnya dan bagaimana. Dimanapun pasti akan ada sisa dan baunya. Apalagi yang nilainya milyaran rupiah.

Kasus-kasus korupsi di Indonesia dan penguakan media mengingatkan saya pada skandal watergate yang menjatuhkan presiden Nixon 1972,
Saat itu Bob Woodward and Carl Bernstein mendapatkan sumber strategis di pemerintahan yang membocorkan keterlibatan Nixon dalam penyuapan dan penyadapan kantor2 partai dan pemerintahan. Tapi tak cukup dengan kata2 sumber, duo itu banting tulang mencari bukti fisik untuk membuktikan ucapan Deep Throat, dan itu berhasil.

Tapi sayangnya saya hanyalah seseorang yang bekerja di sebuat biro kantor berita kecil, yang melihat Indonesia selalu dengan gambar besar. Saya tidak bisa memfokuskan satu kasus kecuali memang melibatkan uang2 milik publik tempat saya bekerja. Makanya saya punya ini, untuk bilang pada teman2 yang bisa melakukan investigative reporting untuk jangan berhenti pada satu sumber. Jihad teman2 adalah mendapatkan bukti fisik. Disitulah semua fakta akan berbicara.

kilometer seribu

judul diatas adalah ucapan Imam B Prasodjo saat menjadi pembicara di buku " Dari kilometer Nol" karya Andi Malarangeng. Menurut Imam, kilometer seribu adalah antitesa dari Nol, perlambang Istana negara, begitu menurut penulisnya.

Jadi, kumpulan kolom Andi di jurnal nasional yang menjelma menjadi buku itu adalah bagaimana melihat Indonesia dari perspektif "orang Istana". Sedangkan, kilometer seribu dalam pemaknaan Imam adalah bagaimana rakyat kecil melihat Istana.

Menarik.

Saya selalu suka Imam Prasodjo, seorang intelektual kritis yang jarang saya temui di Indonesia. Selalu siap dengan alasan, ngeles dengan cerdas, dan konsisten. Dia bergerak dari menara gading untuk turun ke masyarakat, dengan organisasi "nurani dunia"-nya, bukan kewajiban untuk intelektual yang memang diciptakan menghuni menara gading seperti Imam. Tapi dia merasa terpanggil dan bergerak.

Agak berbeda warnanya memang dengan Andi, bung dari Makassar. Saya merasakan kekecewaan yang amat mendalam saat dia mulai berbicara mewakili Istana. Bukan posisi prestisenya yang saya kecewakan, tapi cara dia membela kebijakan presiden. Kata-kata dan logikanya sangat tidak sophisticated dan hanya berpegang pada kepandaiannya bersilat lidah yang kosong. Saya sama sekali tidak melihat sisi intelektualitas yang mendalam pada Andi.

contoh komentar kosong Andy:

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa menyelesaikan
segala permasalahan
yang diadukan oleh semua lapisan masyarakat
dari seluruh Tanah Air melalui
surat, telepon
dan bahkan pesan-pesan SMS ke Ibu Negara
"
"Jangankan jadi presiden, jadi juru bicara Presiden saja tugas dan tanggung jawabnyaluar biasa besar" Selama beberapa bulan mendampingi Presiden,Andi mengaku waktunya habis tersita untukkepentingan pemerintah dan negara.
(Antara)


Anak sekarang akan spontan berkomentar : Maksud Loh?
apa surat kabar kita perlu memenuhi halamannya,
dengan kata2 kosong seperti ini?

Beberapa kali saya sempat berbicara langsung dengannya untuk keperluan pekerjaan, dan komentarnya tak ada yang bisa saya tulis. Saya kapok. Hanya menghabiskan pulsa telefon. Mungkin ini subjektif, tapi saya kira juru bicara ditempatkan bukan menjadi Toa dari presiden dan membodohi wartawan dengan bersilat lidah. Tapi juru bicara menjelaskan background permasalahan bahkan kalau bisa, mencerdaskan wartawan yang meminta komentarnya.

Saya berharap saya bisa menemukan sisi intelektual dari Andy di bukunya. Keberanian untuk mengemas buku dengan packaging yang ekslusive tentu saja mengundang birahi untuk membuka dan menghabiskan buku itu. Tapi baru beberapa lembar, buku itu pun menggantung di tangan, karena saya merasa ngantuk. Membaca buku itu tak ubahnya mendengar Andi berbicara langsung lewat telefon, miskin nilai sastra, penuh pemujaan terhadap Sang Presiden, dan sama sekali tidak menarik, karena tidak ada yang baru.

Hum, bung Andi, mungkin ini kilometer seribu saya

Bagaimana?