Tuesday, November 6, 2007

kilometer seribu

judul diatas adalah ucapan Imam B Prasodjo saat menjadi pembicara di buku " Dari kilometer Nol" karya Andi Malarangeng. Menurut Imam, kilometer seribu adalah antitesa dari Nol, perlambang Istana negara, begitu menurut penulisnya.

Jadi, kumpulan kolom Andi di jurnal nasional yang menjelma menjadi buku itu adalah bagaimana melihat Indonesia dari perspektif "orang Istana". Sedangkan, kilometer seribu dalam pemaknaan Imam adalah bagaimana rakyat kecil melihat Istana.

Menarik.

Saya selalu suka Imam Prasodjo, seorang intelektual kritis yang jarang saya temui di Indonesia. Selalu siap dengan alasan, ngeles dengan cerdas, dan konsisten. Dia bergerak dari menara gading untuk turun ke masyarakat, dengan organisasi "nurani dunia"-nya, bukan kewajiban untuk intelektual yang memang diciptakan menghuni menara gading seperti Imam. Tapi dia merasa terpanggil dan bergerak.

Agak berbeda warnanya memang dengan Andi, bung dari Makassar. Saya merasakan kekecewaan yang amat mendalam saat dia mulai berbicara mewakili Istana. Bukan posisi prestisenya yang saya kecewakan, tapi cara dia membela kebijakan presiden. Kata-kata dan logikanya sangat tidak sophisticated dan hanya berpegang pada kepandaiannya bersilat lidah yang kosong. Saya sama sekali tidak melihat sisi intelektualitas yang mendalam pada Andi.

contoh komentar kosong Andy:

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa menyelesaikan
segala permasalahan
yang diadukan oleh semua lapisan masyarakat
dari seluruh Tanah Air melalui
surat, telepon
dan bahkan pesan-pesan SMS ke Ibu Negara
"
"Jangankan jadi presiden, jadi juru bicara Presiden saja tugas dan tanggung jawabnyaluar biasa besar" Selama beberapa bulan mendampingi Presiden,Andi mengaku waktunya habis tersita untukkepentingan pemerintah dan negara.
(Antara)


Anak sekarang akan spontan berkomentar : Maksud Loh?
apa surat kabar kita perlu memenuhi halamannya,
dengan kata2 kosong seperti ini?

Beberapa kali saya sempat berbicara langsung dengannya untuk keperluan pekerjaan, dan komentarnya tak ada yang bisa saya tulis. Saya kapok. Hanya menghabiskan pulsa telefon. Mungkin ini subjektif, tapi saya kira juru bicara ditempatkan bukan menjadi Toa dari presiden dan membodohi wartawan dengan bersilat lidah. Tapi juru bicara menjelaskan background permasalahan bahkan kalau bisa, mencerdaskan wartawan yang meminta komentarnya.

Saya berharap saya bisa menemukan sisi intelektual dari Andy di bukunya. Keberanian untuk mengemas buku dengan packaging yang ekslusive tentu saja mengundang birahi untuk membuka dan menghabiskan buku itu. Tapi baru beberapa lembar, buku itu pun menggantung di tangan, karena saya merasa ngantuk. Membaca buku itu tak ubahnya mendengar Andi berbicara langsung lewat telefon, miskin nilai sastra, penuh pemujaan terhadap Sang Presiden, dan sama sekali tidak menarik, karena tidak ada yang baru.

Hum, bung Andi, mungkin ini kilometer seribu saya

Bagaimana?

4 comments:

Anonymous said...

Well, Sis. Kenapa orang-orang yang masuk istana atau birokrasi jadi 'melempem' ya. Dulu, kayaknya komentar-komentar Andy sering dikutip media karena tegas, tajam dan akurat. Btw, aku juga suka mas Imam, sayang belum sempat wawancara.

Anonymous said...

gk tau ya san...mungkin karena peran mereka disitu sudah jelas.. dan juga karena miskin kreativitas untuk menafsirkan peran itu.. misalnya kita nggak lihat tragedy melempimasasi ini terjadi sama pak marty kan?.. berarti emang bergantung sama kualitas orangnya..

Anonymous said...

Pak Marty gimana kabarnya ya sekarang. I prefer him than his boss :)

Anonymous said...

Eh, sis. Nambahin nih, Andi harus baca blogmu ini. Biar kumisnya jangan melintang terus gitu. :)