Wednesday, November 7, 2007

macet jalan = macet mental

Jakarta macet. Oh, itu bukan berita. Pembangunan jalur busway yang tanpa perencanaan matang patut disalahkan sebagai penyebab parahnya kemacetan jakarta akhir-akhir ini.

Tapi ada yang berbeda pagi ini ketika saya melintas di jalan Panjang kawasan kebun jeruk yang juga jadi sasaran pembangunan jalur busway. Jalan yang biasanya tak bergerak dipenuhi mobil,metro mini dan motor yang simpang siur tak karuan, pagi ini tampak sepi. Semua jenis pengendara bisa berseliweran dengan bebas. Ada pejabat lewat? atau saya lupa kalau ini hari libur?

Ternyata tidak. ini hari kerja biasa dan tidak ada volvo dengan sirine meraung-raung. Saya pun penasaran. Tiba-tiba disuatu perempatan, saya melihat orang berpakaian biru muda dan berhelm mengatur para pengendara sepeda motor untuk ada di satu jalur, dan mempersilahkan mobil memakai jalur lain.

Tak lama, 100 meter berikutnya saya melihat kembali orang berpakaian seragam yang sama mengatur jalan, begitupun 100 meter berikutnya dan berikutnya. Pengemudi motor, angkot, mobil tampak serius mengikuti gerak tangan petugas khusus yang belakangan saya ketahui spesial ditugaskan Departemen perhubungan pagi ini menjawab komplain publik tentang parahnya macet di Jalan Panjang.

Ah ternyata, bukan pembangunan jalur busway atau monorail atau galian penyebab utama macet. Tapi yang paling utama adalah masalah mental. Jalan panjang sehari-hari sebelum kedatangan para peri biru adalah pemandangan klasik semua ruas jalan di jakarta ada atau tidaknya pembangunan jalur Busway.

Dimana, disetiap ruas jalan ibu kota Indonesia ini, anda akan menemui angkot atau metromini yang suka berhenti seenaknya. Anda juga melihat, mobil-mobil pribadi yang melaju pelan karena sang pengemudi asik mengirim sms atau handphone. Jagoan jalanan jakarta, para pengendara motor pun memiliki andil besar dalam kekacauan jalan, dengan gayanya improvisasinya meliuk - liuk diantara mobil -mobil. Penuh semangatnya sampai tak perduli kalau stang atau bempernya menggores-gores kendaraan disekitarnya.

Tapi ajaibnya, kedatangan peri biru di jalan panjang pagi ini mengubah itu semua. Semua pengemudi cukup rapi dalam mengendarai mobil dengan kecepatan terjaga, pengendara motorpun jadi anak baik-baik, menahan diri untuk memainkan liukkan motornya. Begitupun barisan metromini, seakan-akan amnesia dengan prilakunya di hari-hari lalu, cukup taat mencari tempat untuk menaik-turunkan penumpang.

Ternyata kita bisa disiplin, cuma satu syaratnya: takut.

Dampak tiga ratus tahun penjajahan ternyata masih bersisa sampai hari ini.

0 comments: