Tuesday, August 12, 2008

A good girl certainly better than a bad boy

Elena Stefoi, seorang sejarawan sekaligus duta besar besar Rumania untuk Kanada, mengucapkan kalimat yang saya tuliskan sebagai judul diatas sebagai penutup dari pidatonya pada seminar ttg perempuan di Kanada.

Pada masa-masa perang ucapnya, perempuan berdiplomasi sementara laki-laki pergi berperang. Subjek diplomasi dan perempuan menjadi begitu menggelisahkannya, hingga kalau kita mengetik dua kata itu pada mesin pencari google keluarlah berlembar-lembar bahasan tentang betapa terlambatnya dunia memberikan tempat bagi perempuan di dunia yang dipenuhi oleh laki-laki sebagai "homo diplomaticus".

Secara resmi di berbagai negara, diakuinya perempuan sebagai seorang diplomat penuh, tak jauh dari perang dunia kedua. Bahkan di Russia, perempuan dipandang sama dengan diplomat laki-laki baru pada tahun 1960-an.

Sebenarnya, signifikansi perempuan dalam diplomasi dimulai jauh sebelum masehi. Steven Saylor dalam epik novelnya "Roma" mengungkapkan sejarah yang menarik. Tahun 491 SM tercatat saat Corolianus seorang panglima perang yang dibuang oleh rakyat Roma hendak membalas dendam pada tanah kelahirannya, perempuan-perempuan Roma memasang dirinya sebagai benteng terakhir.

Ibunda Corolianus, Veturia, dengan gagah berani mendatangi Panglima Perang yang dikenal keji itu,dan mengajaknya berunding. Entah apa yang dikatakan Veturia pada pertempuan empat mata dengan Corolianus dalam tenda yang tertutup, Corolianus akhirnya mengurungkan membalas dendam pada kota yang telah membuangnya itu, dan memilih untuk dibunuh oleh pasukan Volci, sekutunya sekaligus musuh bebuyutan Roma, yang menuduhnya berkhianat.

Kehebatan diplomasi perempuan juga amat dikenal saat Cleopatra menjalin hubungan cinta dengan Julius Caesar, yang membuat kejatuhan Alexandria dari penguasaan Alexander the Great ke tangan Roma dengan sangat bermartabat.

Setelah Caesar meninggal, Cleopatra menjalin kembali hubungan cinta dengan Marcus Antonius, orang kepercayaan Caesar, demi menjaga keutuhan Mesir. Walaupun akhirnya Cleopatra mati ditangan Octavius, musuh politik dari Antonius, namun Mesir senantiasa utuh sampai saat ini dan patung Cleopatra yang bersepuh emas tetap dipuja di kuil Venus.

Apakah kehebatan perempuan dalam diplomasi selalu berkaitan dengan hubungan darah dan cinta? Seperti yang dilakukan oleh Veturia dan Cleopatra?

Susah untuk mengatakannya. Peran dominan perempuan sebagai ibu dan kekasih, semakin jarang ditemukan. Diplomat perempuan, semakin hari, semakin mengadopsi role model dalam dunia diplomasi, gaya laki-laki sebagai "homo diplomaticus".

Apakah ini baik atau buruk? Saya tidak tahu. Apakah laki-laki senang berdiplomasi dengan perempuan yang berbicara seperti laki-laki atau perempuan sebagaimana adanya? Sejarah mencatat pujian yang paling jujur terhadap diplomat perempuan tercatat saat seorang laki-laki diplomat Inggris, membisikkan apreasiasinya pada counterpartnya dari Washington, ttg Ruth Bryan OWen, perempuan Amerika yang menjadi US chief of mission pertama di Copenhagen tahun 1933- 1936 " seorang diplomat perempuan yang bisa diajak bicara seperti seorang laki-laki,"pujinya.

Encoding ini menjadi jamak dalam dunia diplomasi. Perempuan diharapkan menjadi laki-laki. Sulit bagi seorang diplomat perempuan untuk menikmati kehidupan berkeluarga,menjadi ibu dan istri yang bahagia dan menjadi profesional dalam karirnya sekaligus. Kadang mereka dihadapkan pada pilihan yang sama ekstrimnya, dan akhirnya mengorbankan salah satunya.

Akibatnya kita kehilangan "perempuan" dalam diplomasi, kita bertemu dengan laki-laki dalam bentuk fisik perempuan.

Seharusnya ada satu sistem yang dapat mengadopsi keutuhan perempuan tersebut dalam pengaturan karir di dalam satu departemen, sebab dalam keutuhannya perempuan adalah juga ibu karena fungsi rahimnya dan Istri dalam peran purbanya sebagai pasangan dari lawan jenisnya. Keutuhan potensi diplomasi perempuan, terletak pula dalam sejauh mana sistem menerima dimensi -dimensi yang tak terlepas dari seorang perempuan.

Diperlukan juga laki-laki yang pemberani dan berbeda untuk menjadi pasangan dari seorang diplomat perempuan. Sebab dalam dunia tradisional laki-laki adalah penjelajah dan perempuan adalah pemelihara.

Bagaimanapun, kadang fungsi ini menjadi tertukar. NAmun, alam akan terus mendampingi agar tiap fungsi menjalankan peran asal-nya dengan baik. Diplomat yang ibu adalah juga penjelajah dan pemelihara, sebagaimana juga diplomat yang istri. Dan pada naturenya, seorang laki-laki adalah seorang penjelajah dimanapun Ia berada. Jadi tidak pernah ada rasa takut untuk kehilangan peran di layar kehidupan.

Dengan sistem seperti ini, di masa depan roda kehidupan mungkin akan mempertemukan kita dengan seorang Veturia dan Cleopatra. Jika saat itu datang sebaiknya kita bersiap sebab perempuan-perempuan seperti ini muncul dalam masa-masa genting yang penuh dengan konflik dan peperangan. Pada saat itu kita akan betul-betul memahami apa yang Elena ungkapkan diatas.

1 comments:

Daily Love said...

Kalimat "Akibatnya kita kehilangan "perempuan" dalam diplomasi, kita bertemu dengan laki-laki dalam bentuk fisik perempuan." ini membuat saya berpikir ke seseorang, Sis.
Btw, di PTRI New York kita punya diplomat perempuan, kalau gak salah namanya bu wiwi.