Wednesday, January 30, 2008

plong

Saat Suharto akhirnya berpulang ke Rahmatullah.. saya merasa plong. Awalnya saya kira ini karena pekerjaan.. sebab usailah sudah penantian tak menentu sebulan kurang. Tapi agaknya rasa plong ini lebih dari itu.
Saya merasa bangsa ini telah hilang satu beban. Satu berhalanya telah hancur. Bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami bahwa memandang Suharto itu erat dengan ketakutan. Takut salah nulis, Takut salah omong, Takut salah melukis, Takut.... Pada Jaman itu, banyak orang takut menjadi dirinya sendiri, sebab salah sikap, senjata bertindak.
Bahkan saat Suharto sudah tidak menjadi presiden pun, rasa takut itu tetap ada. Maka itu, 4 presiden tak mampu mengadili dia, apalagi sebabnya kalau bukan kalah pamor dan takut.
Suharto sebagai manusia punya banyak sisi, banyak kebaikan dan juga keburukannya. Tapi sebagai pemimpin, selain senyumnya yang khas dan ketertarikannya yang genuine pada ternak dan padi, Suharto adalah pemimpin yang amat ditakuti.
Rasa takut ini juga ada pada jaman Sukarno, yang melantik dirinya sendiri jadi pemimpin seumur hidup.
siapa yang menumbuhkan rasa takut itu? ya kita sendiri. So called rakyat Indonesia.
Setelah ratusan tahun di popor senapan belanda, dan jadi romusha jepang, kita menempatkan pemimpin2 kita sebagai penguasa mutlak. Sebagai berhala.
Karena itulah kita tak mampu melahirkan pemimpin2 besar saat ini, sebab kita sendiri yang telah menahbiskan dua pemimpin yang seharusnya dapat "pensiun" baik2 itu dengan kekultusan.
Tentu saja kita belajar dari sejarah. Sudah selesai jaman pengkultusan itu, dan simbol yang paling kuat berakar di benak kita pun sudah mati, kalah pada Kekuasaan Terbesar, menyerah pada Tuhan.
Agar hal itu tidak terulang lagi, minimal kita punya keberanian untuk berkata dan bertindak sesuai dengan keyakinan, kita punya ekualitas yang sama untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para presiden dan para anggota DPR itu, bahkan mungkin lebih tinggi sebab: kita yang membayar mereka dengan pajak kita... harap diingat itu baik-baik.
Semua orang itu sama hinanya di hadapan Tuhan, kemulyaan hanya diukur dengan ketakwaan. Jadi kita harus mulai hancurkan berhala feodalistik yang menghalangi kebebasan kita, dan menjadi diri sendiri dimanapun kita berada.
semoga kita bisa belajar..

2 comments:

Anonymous said...

Kayaknya, pemimpin sekarang ingin menjadi berhala juga. Malah kesal karena tidak 'diberhalakan' rakyatnya. Imbauan untuk mencontoh Suharto, dan propaganda mengelu-elukan Suharto, tampaknya gambaran kerinduan pemimpin kita untuk diberhalakan seperti Suharto.

the writer said...

heheheh.. moga-moga dari istana gk ada yang baca komentar lu natalia..