Friday, January 11, 2008

dilema hukum suharto dan rasa keadilan

Dari pada ngantuk, mereka-reka dengan pertimbangan taktis kapan Soeharto meninggal, sehingga saya harus tau kapan harus membooking penerbangan ke Solo. Menarik mungkin kalau saya mencoba mengukur kedewasaan bangsa kita lewat penyelesaian kasus hukum Soeharto yang terkatung-katung.

Yang pertama sering orang mengaitkan kalau meneruskan proses hukum buat Soeharto yang sakit-sakitan itu, menentang prinsip " ....mikul, mendhem jero" (saya lupa kata awalnya, artinya peribahasa jawa ini adalah: menjunjung tinggi jasa pemimpin, dan menyimpan baik-baik kesalahannya) . Dan sebagai pemimpin yang jawa, tentu saja akan terlihat tidak sopan, apabila tidak mengakui prinsip ini. Dengan budaya jawa, yang penuh dengan kearifan timur, prinsip ini terlihat cukup bijaksana.

Dalam satu sisi, sebagai orang jawa tentu saja saya merasakan nuansa agung kejawaan itu. Di sisi lain saya merasa ini prinsip yang mundur. Sebagai muslim dan orang yang hidup pada peradaban modern yang menyerap semangat pemberontakan rakyat perancis tahun 1817 dengan slogannya Egalite, Franirte et Liberte, saya merasa yang harus dikedepankan adalah rasa keadilan.

Rasa keadilan Suharto vs orang -orang yang dipinggirkan selama masa jabatannya. Orang-orang ini adalah deretan yang panjang mulai dari eks tapol/napol mantan anggota PKI, orang-orang di waduk kedung ombo, orang-orang tapol kasus Tanjung priouk, PAra mahasiswa dan aktivis politik yang diculik dan disiksa dan ditembak, Marsinah, Udin, para orang tua puluhan korban yang mati remaja di Santa Cruz EastTimor.. dan banyak lagi.

Walau banyak kasus yang tidak terjamah tangannya secara langsung, tapi banyak kasus yang terjadi karena Soeharto menumbuhkan Indonesia menjadi negara militer yang membuat militer2 menjadi raja kecil dan sewenang2.

belum lagi kalau kita membicarakan petani cengkeh yang harus menjual murah cengkehnya pada Tomi anaknya, belum lagi para pengusaha Cina yang diperas untuk membiayai hidup mewah anak cucunya.

Tidak ada keadilan, jika proses hukum Suharto tidak diteruskan. Sebab ketidakmampuan untuk mengakui sejarah, akan berujung pada bangsa yang tidak dewasa. yang akan bersembunyi pada kelemahan daripada bersikap ksatria mengakui kesalahan dan bersedia menerima palu keadilan.

9 comments:

Anonymous said...

Betul, Sis. Kalau memang tidak bersalah, kenapa takut diadili? Kalau memang Soeharto tidak bertanggung jawab atas semua tuduhan-tuduhan, kenapa harus menghindar? Kenapa anak-anaknya juga menghindar? Apa mereka tidak percaya pada sistem peradilan Indonesia? Ini tanggapan lugu saja, tanpa curiga, lepas dari kebobrokan sistem pengadilan (siapa hayo yang membuatnya begitu :)).

Anonymous said...

Bu Sis, mbok ya jangan soeharto-soeharto aja toh, lebih enak didengar/dibaca kalo di sebut Pak Harto atau Pak Soeharto gitu. Berapa toh umur Ibu? Opo yo pantes manggil Pak harto dengan sebutan seperti itu? Jangan-jangan Ibu belum lahir, Pak Harto sudah jadi Presiden. Orang pinter kok ya keblinger sudah tidak hirau lagi yang namanya sopan santun. Mohon dimaafkan jika saya menyinggung Ibu.

the writer said...

buat mas yang nggak berani mencantumkan nama..dalam penulisan jurnalistik, kita memang tidak bisa menuliskan Pak atau Ibu, coba mas baca di koran2, dalam dan luar negeri, memang begitu mas aturan bakunya. Dan tidak ada hubungannya dengan rasa hormat saya terhadap siapapun. Bahkan apabila saya harus menuliska nama bapak dan ibu saya dalam berita tetap saya akan panggil namanya.

the writer said...

buat bune laras, mereka itu memang maunya sendiri saja.. nggak hirau sama perasaan orang lain.. sedih rasanya..kok pengennya bikin akta perdamaian dibebasin dari segala tuduhan..

Anonymous said...

Mas anonymous, maaf kalo menyinggung, karena saya juga panggil soeharto saja. Benar mas write, kadang-kadang saya juga keceplosan sebut menteri pakai nama saja soalnya terbiasa di tulisan. Soal pengadilan, saya lebih percaya pada pengadilan Tuhan. Biarlah Tuhan yang Maha Adil dan Maha Kuasa yang menentukan ketika semua sistem di negeri ini sudah tidak bekerja lagi.

Anonymous said...

Hehehe, salah gw ya Sis. The Writer kan elo. :) kadang-kadang gw jg lupa nyebut-nyebut nama Hassan di depan pegawai-pegawai Deplu, 'eh Hassan kemana?' terus mereka kaget dan memandang seolah-olah aku gak sopan banget.

Anonymous said...

ya mudah2an semua baik-baik... indonesia adem ayem, tentrem... gemah ripah loh jinawi. amiiiin.

Unknown said...

mikul dhuwur, mendhem jero,....

nurut sy ungkapan ini berarti kita harus membicarakan kebaikan orang tanpa harus menjelek-jelekan. jika memang org tsb berbuat salah/jelek, bukan tugas kita utk (hanya) membicarakannya, tapi berbuat (sesuai kapasitas kta) agar jadi baik. beginu desu,....

the writer said...

terimakasih ito.
saya setuju dengan pendapat anda.
saya hanya ingin mempunyai perspektif yang adil. Dalam jalan manusia ada langkah hukum. jadi kita bisa coba itu dulu.